Kamis, 17 September 2015

Apa itu Short Selling Saham dan Bagaimana Untung Ruginya

Kali ini adalah pembahasan apa itu short selling. Beberapa bulan terakhir - terutama di China - kedua aktivitas yang umumnya saling berkaitan ini terus menarik perhatian.

Rabu, 16 September 2015

Cara Mempersiapkan Dana Pensiun Lewat DPLK

Masa pensiun harusnya adalah saat Anda menuai investasi saat usia produktif. Sayangnya tak semua dapat menikmati pensiun dengan tenang karena dana pensiun justru tidak ada. Jadi, sebelum menyesal, pastikan Anda mempersiapkan dana pensiun dengan baik.

Selasa, 15 September 2015

Kenapa Proyek Listrik 35 ribu Kontroversial

Kenapa pembangunan proyek listrik baru dengan kapasitas 35.000 KW menjadi kontroversial ? Penting karena Indonesia terancam kekurangan daya listrik, tapi juga proyek tersebut penuh risiko.

Di awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, salah satu proyek infrastruktur besar yang akan digarap pemerintah adalah pembangunan pembangkit listrik baru dengan total kapasitas 35.000 MW dalam lima tahun ke depan (2014–2019).

Total investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan pembangkit baru tersebut diperkirakan mencapai Rp 1.127 triliun dengan komposisi PLN (persero) Rp 512 triliun dan swasta Rp 615 triliun.

Tuntutan atas kebutuhan dan permintaan listrik merupakan latar belakang utama yang mendasari rencana pemerintah tersebut.

Kondisi Sektor Listrik

Kondisi terkini sektor kelistrikan Indonesia menunjukkan bahwa rasio elektrifikasi berada di level 84,35% dengan total kapasitas pembangkit 53.585 MW.

Ditinjau dari sisi konsumsi dan produksi, energi listrik Indonesia masih surplus, namun jika dilihat secara sistem maka sistem kelistrikan Indonesia berada dalam status krisis.

Hal ini karena: dari total 22 sistem kelistrikan nasional hanya enam yang berada dalam status normal, sementara sisanya 11 dalam status siaga dan lima berstatus defisit.

Keterlambatan tersebut karena beberapa alasan:

  • Lambatnya pemerintah dalam merelisasikan proyek fast track 10.000 MW tahap I dan II yang dimulai sejak tahun 2005 merupakan penyebab utama kondisi krisis tersebut. 
  • Keterlambatan lebih dari 18–24 bulan untuk fast track tahap I dan masih banyaknya kendala pada proyek tahap II disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain masalah pembebasan dan penyediaan lahan, proses negosiasi harga antara PLN dan IPP, proses penunjukan dan pemilihan IPP, pengurusan izin di level pusat dan daerah, kinerja developer dan kontraktor, kapasitas manajemen proyek, koordinasi lintas sektor, serta isu konflik hukum. 
  • Meskipun kedua proyek besar tersebut telah dimandatkan melalui Peraturan Presiden, kebijakan tersebut tampaknya hanya menjadi “macan kertas” yang kurang kuat di level implementasinya.
Di sisi lain permintaan dan kebutuhan listrik di Indonesia terus tumbuh dan cenderung sulit “dikendalikan”.

Data analisa oleh PLN dan Wood Mackenzie menunjukkan bahwa permintaan listrik nasional tumbuh rata-rata 8,7% dalam 10 tahun ke depan dengan kondisi Jawa Timur berkontribusi hampir 48% dari total permintaan tersebut.

Khusus untuk sistem Jawa-Bali, diproyeksikan gap supply dan demand di level pembangkit akan meningkat dari level 1.000 MW di tahun 2016 menjadi 4.000 MW di tahun 2019, bahkan untuk wilayah Jawa Timur kondisi saat ini dan ke depan berpotensi untuk terus mengalami negative reserve margin (dari kondisi ideal reserve margin yang sebesar 30% dari beban puncak).

Negative reserve margin tersebut dalam jangka pendek perlu mendapat perhatian karena tidak hanya dapat menganggu sistem Jawa-Bali, namun juga dapat menghambat pertumbuhan industri dan ekonomi secara luas.

Meningkatnya kebutuhan listrik selalu identik dengan besarnya kebutuhan investasi, tidak hanya dari sisi jumlah nominal namun juga dari sisi kontinuitas. Hingga akhir tahun 2020 diproyeksikan Indonesia membutuhkan investasi di sektor kelistrikan tidak kurang dari US$ 30 miliar untuk tetap mempertahankan seluruh wilayah Indonesia diterangi listrik.

Setelah periode tersebut, selanjutnya rata-rata dibutuhkan tambahan investasi antara US$ 7 miliar–US$ 7,5 miliar per tahun hingga akhir tahun 2025 untuk dapat memenuhi permintaan listrik yang terus tumbuh sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Keterbatasan dana pemerintah dan PLN sebagai pemegang kuasa usaha sektor kelistrikan di Indonesia mendorong pemerintah untuk kembali melakukan berbagai terobosan kebijakan dan strategi.

Kebijakan dan strategi yang mencakup aspek permasalahan lahan hingga hukum tersebut tidak lepas dari pembelajaran pada “kegagalan” program Fast Track 10.000 MW tahap I dan II.

Dari beberapa kebijakan tersebut, salah satu kebijakan yang cukup besar dampaknya adalah terkait kerjasama penyediaan tenaga listrik dan pemanfaatan jaringan serta aturan tentang pembelian dan patokan harga tenaga listrik melalui pemilihan langsung dan penunjukkan langsung.

Peraturan Menteri ESDM No. 1 dan No. 3 tahun 2015 mengatur beberapa hal pokok, antara lain: a) PLN dapat bekerjasama melakukan jual-beli tenaga listrik antara pemegang izin tenaga listrik dan tidak memerlukan IUPL baru. b) Pemakaian bersama jaringan transmisi tenaga listrik, dengan harga sewa jaringan mengikuti harga yang berlaku pada badan usaha pemberi sewa, c) PLN dapat membeli tenaga listrik dari pemegang izin operasi (excess power); dan d) PLN memiliki mandat langsung membeli listrik melalui pemilihan dan penunjukkan langsung.

Secara lebih sederhana, aturan ini memberikan kewenangan yang sangat besar pada PLN untuk melakukan transaksi bisnis dengan pihak IPP (independent power plant) dalam hal pemilihan dan penunjukan, termasuk dalam hal negosiasi harga.

Terobosan pemerintah dengan memberikan mandat yang besar pada PLN di sisi hulu diikuti pula dengan memberikan ruang besar di sisi hilir melalui pelonggaran tarif. Pelonggaran tarif ini diwujudkan secara lebih konkret dengan menghapus sebagian besar subsidi untuk mayoritas pelanggan PLN.

Melalui langkah ini pemerintah tidak hanya memberikan ruang pada PLN untuk menyesuaikan tarif sesuai struktur biaya yang ada, namun juga memberikan sinyal pada investor IPP bahwa investasi sektor kelistrikan di Indonesia cukup menarik.

Rencana Pembangunan Pembangkit PLN

Dikutip dari publikasi PLN, terkait rencana pembangunan 35.000 MW terdapat sekitar 109 proyek pembangkit baru, 74 proyek pembangunan berkapasitas 25.904 MW akan dikerjakan dengan skema IPP, dan 35 proyek berdaya 10.681 MW dikerjakan oleh PLN.

Dari 74 proyek IPP, sebanyak 21 proyek berkapasitas 10.348 MW telah sampai pada proses pengadaan, 16 proyek (4.648 MW) proses pengadaannya sudah dimulai melalui penunjukan langsung dan 37 proyek IPP (10.908 MW) proses pengadaannya akan dilakukan menggunakan mekanisme pelelangan.

Sementara itu, dari 35 proyek yang dikerjakan PLN, delapan proyek berkapasitas 2.301 MW di antaranya sudah berlangsung proses pengadaannya dengan metoda pelelangan. Proses pengadaan 27 proyek lainnya dengan kapasitas 8.380 MW juga akan dilakukan dengan mekanisme pelelangan.

Kesempatan Bagi Sektor Keuangan

Bagi sektor keuangan atau perbankan, langkah deregulasi pembiayaan investasi dan tarif sektor kelistrikan tersebut memberikan peluang sekaligus risiko.

Dalam jangka pendek hal tersebut dapat dilihat dari langkah cepat yang dilakukan PLN untuk melakukan pengamanan transaksi valas (hedging) pada sisi kewajiban yang mayoritas dalam bentuk valuta asing.

Tidak kurang dari US$ 950 juta kewajiban PLN telah di-hedge melalui kerjasama dengan tiga bank BUMN. PLN menyadari sepenuhnya bahwa mandat 10.000 MW dari total 35.000 MW yang diberikan pemerintah untuk membangun pembangkit baru membutuhkan investasi dalam bentuk dolar yang sangat besar sehingga untuk mengurangi potensi risiko pelemahan nilai tukar rupiah, perseroan memutuskan melakukan hedging.

Bagi perbankan yang aktif terlibat dalam sektor kelistrikan, perubahan kebijakan sektor kelistrikan tersebut di atas perlu dicermati dengan seksama.

Tidak hanya dari sisi peluang bisnis yang akan lebih berkembang sejalan dengan bergulirnya proyek-proyek pembangkit baru, namun juga potensi adanya konsentrasi risiko pada satu sisi, dalam hal ini standby buyer energi listrik.

Kesimpulan

Langkah pemerintah saat ini cukup dimaklumi jika dilihat dari kacamata strategi untuk memperkuat BUMN sebagai penggerak ekonomi dan pembangunan, khususnya di sektor kelistrikan.

Pemberian mandat yang sangat besar bagi PLN untuk melakukan pemilihan, penunjukan, dan penentuan harga beli listrik sekaligus ikut serta dalam membangun pembangkit di sektor kelistrikan di satu sisi memang dapat mempercepat proses pembangunan pembangkit yang selama ini cenderung lambat akibat proses birokrasi di level pemerintah pusat dan daerah.

Namun di sisi lain, langkah merupakan “eksperimen” yang berani karena berpotensi menyebabkan konsentrasi risiko di PLN sebagai perseroan. Di sisi hulu, peluang PLN untuk memperoleh direct lending dari berbagai sumber akan menjadikan ruang PLN menjadi lebih luas dalam mencari alternatif sumber dana dan model pembiayaan investasi.

Sementara di sisi hilirnya, pemilihan dan pembelian serta penentuan tarif yang lebih longgar akan menjadi keuntungan bagi PLN dalam mengejar target laba.

Patut ditunggu apakah model strategi pengembangan sektor hulu kelistrikan yang saat ini ditempuh pemerintah akan berhasil mempercepat pembangunan pembangkit atau sebaliknya akan dijadikan “arena permainan baru” bagi sebagian kalangan yang mencari keuntungan dari adanya “kelonggaran” kebijakan yang dibungkus dalam pendelegasian kewenangan dan kemudahan bagi PLN dan pihak swasta.

Senin, 14 September 2015

Kenapa Tabungan Tidak Cocok

Harga kebutuhan hidup terus melambung dan inflasi membayangi. Mengandalkan hari tua
dan dana pendidikan anak pada tabungan saja rasanya tidak cukup. Karena itu, investasi di
reksadana dapat mengamankan kebutuhan masa depan Anda.

Minggu, 13 September 2015

Cara Mulai Investasi itu Mudah Sekali

Sudahkah kita menyiapkan dana yang diperlukan untuk belanja, beli oleh-oleh, liburan Apakah kita tega membatalkan rencana liburan bersama keluarga tercinta? Bagaimana cara investasi yang mudah untuk mewujudkannya.